Sabtu, 19 Januari 2008 - 18:48 wib
Foto: Corbis
JANGAN mengaku sebagai anak gaul, jika tidak bisa menjadi Disk Jockey (DJ) atau nge-DJ. Kini nge-DJ sudah tidak lagi identik dengan dunia malam lho. Buktinya nge-DJ tidak hanya dilakukan di klub, diskotek, atau lokasi dunia gemerlap (dugem) lainnya. Tetapi bisa di acara pesta ulang tahun, peluncuran produk, ataupun outdoor party. Jadi ternyata peluang buat nge-DJ semakin bertambah lebar kan?
Sudah bukan zamannya DJ identik dengan dunia malam, alkohol, ekstasi atau narkoba. Sebab sekarang nge-DJ sudah menjadi gaya hidup anak gaul. Anggapan bahwa DJ identik dengan alkohol itu sudah mulai bergeser. Para DJ sekarang benar-benar menunjukkan citranya sebagai seorang yang profesional dalam bekerja. Bahkan para orangtua pun sekarang mulai tidak melarang-larang anaknya untuk belajar di sekolah DJ.
Firman Setiawan, pemilik Digital 6 Sound System, salah satu sekolah DJ di Jakarta menyatakan, saat ini DJ tidak hanya menjadi profesi namun juga gaya hidup.
"Banyak acara pesta yang saat ini mulai menggunakan jasa DJ," katanya.
Buktinya, sekarang semakin banyak anak-anak yang tertarik untuk belajar nge-DJ. Digital 6 Sound System yang baru dibuka selama satu tahun ini ternyata sudah mencetak 30 orang lulusan. Rata-rata anak yang belajar disitu, anak usia kelas 3 SMP, SMA, hingga mahasiswa.
Menurut Firman, sebagian dari siswa yang belajar di situ mengaku belajar nge-DJ bukan hanya untuk beroleh keterampilan sebagai profesi. Justru sebagian mengaku belajar sebagai hobi. "Biar dikatakan nggak ketinggalan zaman," katanya.
Meski demikian, kata Firman, jika mau dijadikan sebagai profesi, nge-DJ ternyata cukup menjanjikan. "Bagi seorang DJ pemula tarif sekali manggung Rp 500.000 per jam. Jika dalam sebulan bisa manggung empat kali, ternyata pendapatannya setara bahkan melebihi dari fresh graduate yang bekerja di kantoran kan? Padahal tuh DJ masih baru dan hanya kerja empat jam sebulan," katanya.
Benar-benar hobi yang membawa rezeki. Apalagi, kalau sudah mulai laris alias banyak penggemar dan jam terbangnya tinggi. Tarif manggung per jamnya bisa belasan juta rupiah. Tidak hanya itu, bagaikan seorang artis, seorang DJ juga memiliki banyak fans dan diidolakan banyak orang," tambahnya.
"Harus diakui bahwa nge-DJ itu tidak hanya sekedar hobi. Namun juga bisa dijadikan sebuah profesi yang benar-benar profesional," papar Firman.
Mengenai sulit tidaknya belajar nge-DJ, menurut Firman ada beberapa tahapan dalam belajar nge-DJ. Keterampilan dasar seorang DJ adalah teknik mixing, yaitu mampu memadu-padankan musik sehingga enak di dengar. Dalam ilmu dasar DJ ini pun ada dua hal yang harus dipelajari, yakni mixing dan battle.
Kemudian setelah mumpuni melakukan mixing, kata Firman, tahapan selanjutnya belajar virtual DJ atau sering disebut VJ. Dalam tahapan ini seorang DJ mampu memadu-padankan musik, dan video sekaligus, sehingga dalam setiap manggungnya pasti ada layar lebar yang mempertontonkan video. Terakhir, seorang DJ juga harus menciptakan musik sendiri. Sehingga dia tidak melulu membawakan musik orang lain. Konon, tahapan inilah peringkat tertinggi seorang DJ.
"Di tempat kami untuk belajar tahap dasar seorang DJ, hanya cukup dijalani selama dua bulan dengan biaya Rp 1,5 juta per bulannya," kata Firman.
Bisa enggak nge-DJ tanpa alkohol? Menurut Firman di negeri Paman Sam sana sudah menjadi tren, DJ tanpa alkohol. Saat ini melalui wadah Persatuan Disk Jockey Indonesia (PDJI) sedang dikampanyekan dunia jedag-jedug dengan trendsetter dari London ini bebas minuman keras atau bahkan triping menggunakan narkoba. Jadi tidak ada alasan lagi ada stigma negatif menempel pada profesi yang identik dengan dunia ajeb-ajeb ini. Sebab kenyataannya, tidak hanya DJ, setiap profesi pasti ada sisi negatif dan positifnya.
Selain itu, menurut Firman, banyak DJ Indonesia yang sering manggung di luar negeri, seperti di Australia, Amerika Serikat, atau lainnya.
Dipelopori DJ Erfan Kusuma pada era tahun 1980-an, kini DJ-DJ Indonesia sudah banyak yang laris manggung ke luar negeri.
Selain itu lagu-lagu pop Indonesia yang dibikin jadi versi house ternyata juga laris manis diputar di Singapura dan Thailand.
"Saya punya teman di Thailand dan dia menyatakan lagu Indonesia sering diputar dan banyak digemari di sana," paparnya.
Pemilik Rumus DJ School, Shinta menyatakan bahwa Rumus yang dibuka sejak Juni 2006 telah meluluskan 120 orang lulusan. Maraknya club dan cafe di Jakarta merupakan peluang kerja baru bagi seorang DJ. Namun Shinta melihat bahwa sebagian muridnya ternyata juga belajar nge-DJ bukan sebagai profesi. Namun sebagai tren gaya hidup. Bagi Rumus, ini tentu peluang tersendiri. Dibuatlah kurikulum pengajaran yang lebih serius guna menjamin lulusannya benar-benar berkualitas dan eksis di kancah per DJ-an.
DJ lulusan Rumus yang rata-rata usia 18-27 tahun itu pun sebagian di antaranya sudah manggung ke sana kemari keliling Indonesia. Tidak hanya itu, beberapa di antaranya juga dapat penghargaan dalam festival atau kompetisi DJ. Sebagai sebuah sekolah DJ tentu hal itu merupakan kebanggaan tersendiri.
"Selain sekolah kami juga menyediakan agensi bagi lulusan yang benar-benar mumpuni dan berbakat. Kami siap membantu mencarikan job buat mereka," kata Shinta.
Meskipun angkanya masih 10 orang, namun lulusan DJ Rumus itu telah manggung ke berbagai kota. Di antaranya Yogyakarta, Semarang, Pontianak, Kupang, Makasar, Banjarmasin, bahkan hingga Bangka Belitung. Kebayang kan?
Baru belajar selama dua bulan kemudian langsung keliling kota untuk manggung dengan jadwal yang padat. Apalagi jika bertepatan dengan momen-momen tertentu seperti tahun baru atau momen lainnya. Shinta mengaku kewalahan memenuhi permintaan jadwal manggung DJ dari kliennya.
Selain anak-anak lulusan yang disalurkan melalui agensi. Namun bagi DJ lulusan Rumus yang tidak disalurkan agensi bukan berarti tidak ada jadwal manggung. Banyak dari mereka yang sudah manggung ke mana-mana. Sebab kebanyakan sekolah DJ memang menyediakan job training bagi siswanya. Jadi tidak hanya belajar teori dan praktek di studio. Namun juga belajar praktek menghadapi keramaian orang di klub atau diskotek (crowd). Tahap awal biasanya mereka melihat dan mengamati DJ profesional yang beraksi memutar piringan hitam untuk menghibur penggemarnya yang sedang bergeleng-geleng ria. Biaya kursus di Rumus Rp 2 juta per bulannya dan sekali kursus selama dua bulan.
"Setiap siswa di tempat kami selalu melalui tahap on the job training. Sehingga dia akan terbiasa menghadapi crowd dan tahu bagaimana cara menghibur masyarakat," paparnya.
Bagaimana agar cepat bisa nge DJ? Ternyata teori saja tidak cukup. Bagi Instruktur Rumus DJ School, DJ Asking menyatakan yang terpenting adalah sering mendengarkan dan melihat DJ profesional beraksi. Tahap pertama seorang DJ memang harus suka musik. Secara teori, kursus selama dua bulan itu sudah cukup untuk bisa nge-DJ. Namun secara praktek, dan menjadi seorang DJ yang handal maka harus banyak praktek lapangan.
"Dia harus sering ke klub untuk melihat DJ profesional bermain dan mendengarkan musiknya. Maka dia akan cepat mendapatkan insting atau feeeling sebagai seorang DJ," ujarnya.
Salah satu murid di Rumus DJ School, Adit (23) mengaku bahwa keinginannya untuk sekolah DJ didasarkan karena dia menganggapnya sebagai hobi dan bukan profesi. Adit yang merupakan sarja Teknik Informatika dari Universitas Pelita Harapan ini belum berfikir untuk menggunakan keterampilan nge-Dj nya sebagai salah satu sumber penghasilan.
"Saya seneng saja bisa menyalurkan hobi saya mendengarkan musik dan muter-muter piringan hitam itu. Itu sensasi yang menyenangkan," ujarnya.
(Abdul Malik/Sindo/tty)
Sudah bukan zamannya DJ identik dengan dunia malam, alkohol, ekstasi atau narkoba. Sebab sekarang nge-DJ sudah menjadi gaya hidup anak gaul. Anggapan bahwa DJ identik dengan alkohol itu sudah mulai bergeser. Para DJ sekarang benar-benar menunjukkan citranya sebagai seorang yang profesional dalam bekerja. Bahkan para orangtua pun sekarang mulai tidak melarang-larang anaknya untuk belajar di sekolah DJ.
Firman Setiawan, pemilik Digital 6 Sound System, salah satu sekolah DJ di Jakarta menyatakan, saat ini DJ tidak hanya menjadi profesi namun juga gaya hidup.
"Banyak acara pesta yang saat ini mulai menggunakan jasa DJ," katanya.
Buktinya, sekarang semakin banyak anak-anak yang tertarik untuk belajar nge-DJ. Digital 6 Sound System yang baru dibuka selama satu tahun ini ternyata sudah mencetak 30 orang lulusan. Rata-rata anak yang belajar disitu, anak usia kelas 3 SMP, SMA, hingga mahasiswa.
Menurut Firman, sebagian dari siswa yang belajar di situ mengaku belajar nge-DJ bukan hanya untuk beroleh keterampilan sebagai profesi. Justru sebagian mengaku belajar sebagai hobi. "Biar dikatakan nggak ketinggalan zaman," katanya.
Meski demikian, kata Firman, jika mau dijadikan sebagai profesi, nge-DJ ternyata cukup menjanjikan. "Bagi seorang DJ pemula tarif sekali manggung Rp 500.000 per jam. Jika dalam sebulan bisa manggung empat kali, ternyata pendapatannya setara bahkan melebihi dari fresh graduate yang bekerja di kantoran kan? Padahal tuh DJ masih baru dan hanya kerja empat jam sebulan," katanya.
Benar-benar hobi yang membawa rezeki. Apalagi, kalau sudah mulai laris alias banyak penggemar dan jam terbangnya tinggi. Tarif manggung per jamnya bisa belasan juta rupiah. Tidak hanya itu, bagaikan seorang artis, seorang DJ juga memiliki banyak fans dan diidolakan banyak orang," tambahnya.
"Harus diakui bahwa nge-DJ itu tidak hanya sekedar hobi. Namun juga bisa dijadikan sebuah profesi yang benar-benar profesional," papar Firman.
Mengenai sulit tidaknya belajar nge-DJ, menurut Firman ada beberapa tahapan dalam belajar nge-DJ. Keterampilan dasar seorang DJ adalah teknik mixing, yaitu mampu memadu-padankan musik sehingga enak di dengar. Dalam ilmu dasar DJ ini pun ada dua hal yang harus dipelajari, yakni mixing dan battle.
Kemudian setelah mumpuni melakukan mixing, kata Firman, tahapan selanjutnya belajar virtual DJ atau sering disebut VJ. Dalam tahapan ini seorang DJ mampu memadu-padankan musik, dan video sekaligus, sehingga dalam setiap manggungnya pasti ada layar lebar yang mempertontonkan video. Terakhir, seorang DJ juga harus menciptakan musik sendiri. Sehingga dia tidak melulu membawakan musik orang lain. Konon, tahapan inilah peringkat tertinggi seorang DJ.
"Di tempat kami untuk belajar tahap dasar seorang DJ, hanya cukup dijalani selama dua bulan dengan biaya Rp 1,5 juta per bulannya," kata Firman.
Bisa enggak nge-DJ tanpa alkohol? Menurut Firman di negeri Paman Sam sana sudah menjadi tren, DJ tanpa alkohol. Saat ini melalui wadah Persatuan Disk Jockey Indonesia (PDJI) sedang dikampanyekan dunia jedag-jedug dengan trendsetter dari London ini bebas minuman keras atau bahkan triping menggunakan narkoba. Jadi tidak ada alasan lagi ada stigma negatif menempel pada profesi yang identik dengan dunia ajeb-ajeb ini. Sebab kenyataannya, tidak hanya DJ, setiap profesi pasti ada sisi negatif dan positifnya.
Selain itu, menurut Firman, banyak DJ Indonesia yang sering manggung di luar negeri, seperti di Australia, Amerika Serikat, atau lainnya.
Dipelopori DJ Erfan Kusuma pada era tahun 1980-an, kini DJ-DJ Indonesia sudah banyak yang laris manggung ke luar negeri.
Selain itu lagu-lagu pop Indonesia yang dibikin jadi versi house ternyata juga laris manis diputar di Singapura dan Thailand.
"Saya punya teman di Thailand dan dia menyatakan lagu Indonesia sering diputar dan banyak digemari di sana," paparnya.
Pemilik Rumus DJ School, Shinta menyatakan bahwa Rumus yang dibuka sejak Juni 2006 telah meluluskan 120 orang lulusan. Maraknya club dan cafe di Jakarta merupakan peluang kerja baru bagi seorang DJ. Namun Shinta melihat bahwa sebagian muridnya ternyata juga belajar nge-DJ bukan sebagai profesi. Namun sebagai tren gaya hidup. Bagi Rumus, ini tentu peluang tersendiri. Dibuatlah kurikulum pengajaran yang lebih serius guna menjamin lulusannya benar-benar berkualitas dan eksis di kancah per DJ-an.
DJ lulusan Rumus yang rata-rata usia 18-27 tahun itu pun sebagian di antaranya sudah manggung ke sana kemari keliling Indonesia. Tidak hanya itu, beberapa di antaranya juga dapat penghargaan dalam festival atau kompetisi DJ. Sebagai sebuah sekolah DJ tentu hal itu merupakan kebanggaan tersendiri.
"Selain sekolah kami juga menyediakan agensi bagi lulusan yang benar-benar mumpuni dan berbakat. Kami siap membantu mencarikan job buat mereka," kata Shinta.
Meskipun angkanya masih 10 orang, namun lulusan DJ Rumus itu telah manggung ke berbagai kota. Di antaranya Yogyakarta, Semarang, Pontianak, Kupang, Makasar, Banjarmasin, bahkan hingga Bangka Belitung. Kebayang kan?
Baru belajar selama dua bulan kemudian langsung keliling kota untuk manggung dengan jadwal yang padat. Apalagi jika bertepatan dengan momen-momen tertentu seperti tahun baru atau momen lainnya. Shinta mengaku kewalahan memenuhi permintaan jadwal manggung DJ dari kliennya.
Selain anak-anak lulusan yang disalurkan melalui agensi. Namun bagi DJ lulusan Rumus yang tidak disalurkan agensi bukan berarti tidak ada jadwal manggung. Banyak dari mereka yang sudah manggung ke mana-mana. Sebab kebanyakan sekolah DJ memang menyediakan job training bagi siswanya. Jadi tidak hanya belajar teori dan praktek di studio. Namun juga belajar praktek menghadapi keramaian orang di klub atau diskotek (crowd). Tahap awal biasanya mereka melihat dan mengamati DJ profesional yang beraksi memutar piringan hitam untuk menghibur penggemarnya yang sedang bergeleng-geleng ria. Biaya kursus di Rumus Rp 2 juta per bulannya dan sekali kursus selama dua bulan.
"Setiap siswa di tempat kami selalu melalui tahap on the job training. Sehingga dia akan terbiasa menghadapi crowd dan tahu bagaimana cara menghibur masyarakat," paparnya.
Bagaimana agar cepat bisa nge DJ? Ternyata teori saja tidak cukup. Bagi Instruktur Rumus DJ School, DJ Asking menyatakan yang terpenting adalah sering mendengarkan dan melihat DJ profesional beraksi. Tahap pertama seorang DJ memang harus suka musik. Secara teori, kursus selama dua bulan itu sudah cukup untuk bisa nge-DJ. Namun secara praktek, dan menjadi seorang DJ yang handal maka harus banyak praktek lapangan.
"Dia harus sering ke klub untuk melihat DJ profesional bermain dan mendengarkan musiknya. Maka dia akan cepat mendapatkan insting atau feeeling sebagai seorang DJ," ujarnya.
Salah satu murid di Rumus DJ School, Adit (23) mengaku bahwa keinginannya untuk sekolah DJ didasarkan karena dia menganggapnya sebagai hobi dan bukan profesi. Adit yang merupakan sarja Teknik Informatika dari Universitas Pelita Harapan ini belum berfikir untuk menggunakan keterampilan nge-Dj nya sebagai salah satu sumber penghasilan.
"Saya seneng saja bisa menyalurkan hobi saya mendengarkan musik dan muter-muter piringan hitam itu. Itu sensasi yang menyenangkan," ujarnya.
0 comments:
Post a Comment