Home » » Kelebihan Bank Syariah Daripada Bank Konvensional

Kelebihan Bank Syariah Daripada Bank Konvensional

Written By made oka jaya diputra on Saturday, September 18, 2010 | 8:11 PM

Kelebihan Bank Syariah Daripada Bank Konvensional

Kamis, 26 Maret 2009

Oleh: Nasrulloh Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum untuk memperoleh pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan dan sebagainya. Disamping itu, antara bank syariah dan bank konvensional memiliki perbedaan yang sangat prinsipil, yakni menyangkut akad-akad yang ditetapkan, aspek legalitas, struktur organisasi, bidang usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja. Berikut ini adalah kelebihan bank syariah daripada bank konvensional. B. 1. Akad dan aspek legalitas Di dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekwensi duniawi dan ukrawi, karena akad yang dilakukan berdasarkan ketentuan syari’at Islam. Di dalam perbankan syariah, apabila pihak-pihak yang melakukan akad atau transaksi melanggar kesepakatan / perjanjian yang telah disepakati dan ditandatangani, maka konsekwensi hukum yang akan diterima tidak hanya ketika hidup di dunia saja tetapi juga kelak di hari kiamat. Semua hal dan pihak-pihak, baik barang, jasa maupun pelaku-pelaku yang terlibat dalam setiap akad transaksi perbankan syariah harus memenuhi ketentuan-ketentuan syari’ah sebagai berikut: a. Rukun: penjual, pembeli, barang, harga dan akad (ijab-qabul / transaksi) b. Syarat-syarat, yaitu: 1. Barang dan jasa harus halal. Karena itu segala bentuk akad / transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal / haram demi syari’ah. 2. Harga barang dan jasa harus jelas. 3. Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi. 4. Barang yang menjadi obyek transaksi harus sepenuhnya dalam kepemilikan yang sah. Tidak diperbolehkan oleh syari’ah melakukan akad / transaksi jual beli atas barang atau sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai, seperti yang terjadi pada transaksi short sale di pasar modal. B.2. Lembaga Penyelesaian Sengketa Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah terjadi perselisihan antara bank dan nasabahnya, maka kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di Pengadilan Negeri, tetapi di Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). Lembaga inilah yang mengatur penyelesaian sengketa yang terjadi antara perbankan syariah dan nasabahnya. Lembaga ini didirikan atas kerjasama antara Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majlis Ulama Indonesia (MUI). Karena itu, BASYARNAS dalam menyelesaikan sengketa yang menyangkut perbankan syariah mengacu kepada hukum materi syari’ah. Penyelesaian sengeketa melalui BASYARNAS sesuai dengan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 yang berbunyi:" Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesain sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad". Maka jika dalam akad dituangkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase, hal ini dimungkinkan terjadi sesuai dengan kesepakatan para pihak yaitu bank dan nasabah. Selain itu dengan amandemen Undang-Undang Peradilan Agama, maka penyelesaian sengketa dapat diselesaikan di Pengadilan Agama. Hal ini dimungkinkan karena undang-undang tersebut secara eksplisit dalam Pasal 49 menyebutkan bahwa Pengadilan Agama dapat menyelesaiakan sengketa ekonomi Islam. Hal ini juga dituangkan dalam Pasal 55 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008 yang berbunyi: "Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama". B.3. Struktur Organisasi Bank syariah diperkenankan untuk memiliki struktur organisasi yang sama dengan bank konvensional, misalnya adanya dewan komisaris dan direksi. Namun, di sisi lain terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara struktur organisasi yang dimiliki bank syariah dan bank konvensional. Perbedaan yang mendasar itu adalah bahwa di dalam struktur organisasi perbankan syariah harus ada Dewan Pengawas Syariah. Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektifitas pendapat atau opini yang dikemukakan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu, biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional (DSN). Struktur organisasi tersebut terbagi atas: a. Dewan Pengawas Syariah (DPS) Fungsi utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah mengawasi jalannya operasional bank syariah sehari-hari agar selalu sesuai dengan petunjuk dan ketentuan-ketentuan syari’at Islam. Hal ini, karena akad / transaksi yang berlaku di dalam sistem perbankan syariah sangat berbeda dengan akad / transaksi yang berlaku di dalam perbankan konvensional. Dalam kaitan ini, dalam sistem perbankan syariah diperlukan garis-garis panduan (guidelines) yang berbeda pula dengan sistem perbankan konvensional. Garis panduan ini disusun dan ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional. Dalam pada itu, Dewan Pengawas Syariah (DPS) harus membuat pernyataan secara berkala (biasanya setiap tahun) bahwa bank syariah yang diawasi telah berjalan sesuai atau tidak sesuai dengan syari’at Islam. Pernyataan DPS ini disampaikan dalam buku laporan tahunan (annual raport) bank yang bersangkutan. Tugas lain Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah meneliti dan membuat rekomendasi atas produk baru bank syariah yang diawasinya. Dengan demikian, DPS bertindak sebagai penyaring pertama atas produk yang telah diteliti dan difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional. b. Dewan Syariah Nasional (DSN) Dewan Syariah Nasional (DSN) dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi dari Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonomi di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan dipimpin oleh Ketua Umum MUI dan seorang sekertaris (ex-officio). Kegiatan sehari-hari Dewan Syariah Nasional (DSN) ini dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan seorang ketua dan sekertaris serta beberapa anggota. Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syari’at Islam. Dewan ini bukan hanya mengawasi perbankan syariah, tetapi juga mengawasi lembaga-lembaga keuangan syariah lain, seperti asuransi, reksadana, modal ventura dan sebagainya. Untuk keperluan pengawasan tersebut, Dewan Syariah Nasional membuat garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah yang terdapat di setiap lembaga-lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar acuan dalam pengembangan produk-produknya. Selain itu, Dewan Syariah Nasional bertugas memberikan rekomendasi kepada para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah tertentu. Dewan Syariah Nasional dapat memberikan teguran kepada lembaga keuangan syariah yang dipandang telah menyimpang dari garis panduan perbankan syariah dan petunjuk syari’at Islam. Hal ini dilakukan setelah menerima dan mendapat laporan dari Dewan Pengawas Syariah lembaga keuangan atau perbankan syariah yang bersangkutan. Jika lembaga keuangan atau perbankan syariah tersebut tidak mengindahkan teguran yang diberikan, Dewan Syariah Nasional dapat mengusulkan kepada otoritas yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, untuk memberikan saksi hukum yang berlaku agar lembaga keuangan atau perbankan syariah tersebut tidak melakukan tindakan-tindakan yang lebih jauh dari ketentuan dan petunjuk syari’ah. B.4. Bisnis dan Usaha yang Dibiayai Perbankan Syariah. Di dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas dari ketentuan dan petunjuk syari’ah. Karena itu, bank syariah tidak diperkenankan membiayai bisnis dan usaha yang diharamkan oleh syari’ah. Lembaga keuangan syariah dan perbankan syariah tidak akan memperhatikan permohonan pembiayaan dari suatu usaha atau bisnis sebelum mendapatkan kejelasan dan kepastian akan beberapa hal pokok sebagai berikut: a. Apakah obyek pembiayaan itu halah atau haram? b. Apakah proyek yang akan dibiayai itu menimbulkan madharat atau tidak? c. Apakah proyek yang akan didanai berkaitan dengan perbuatan zina / asusila lainnya? d. Apakah proyek itu berkaitan dengan perjudian? e. Apakah proyek yang akan dibiyai itu berkaitan dengan pembuatan senjata ilegal? f. Apakah proyek itu dapat merugikan syi’ar Islam, baik secara langsung atau tidak langsung? Mengenai jenis dan kegiatan usaha bank syariah diatur dalam Pasal 18-23 UU No. 21 Tahun 2008. sedangkan bagi Bank Syariah diatur dalam Pasal 24-26.
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. bli blogen - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger